Biografi Dalang Cenk Blonk (Nardayana)
I Wayan Nardayana
Dalang I Wayan Nardayana yang lebih dikenal dengan dalang Cenk Blonk
lahir dari pasangan Ketut Tuwuh dan
Ibu Ni Made Locer, pada tanggal 5 Juli 1966 di Banjar Batannyuh Kelod, Desa Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten
Tabanan, Bali. Terlahir
dari keluarga petani dan tak punya leluhur berdarah seni mendalang wayang
kulit. Namun, keuletan belajar dan kecintaan terhadap seni mengantarkannya
menjadi Dalang Wayang Kulit Bali. Adik
kandungnya bernama I Made Susantha,
seorang pengusaha ukir gaya Bali. Bapak dan Ibu pekerjaan sehari-harinya
sebagai petani.
I Wayan Nardayana memasuki
pendidikan SD tahun 1974 dan menyelesaikannya tahun 1980. Dilanjutkan ke
sekolah SMP mulai tahun 1981 dan tamat tahun 1983. SMA mulai tahun
1983 berakhir tahun 1986. Setelah menjadi Dalang terkenal, ia kemudian
melanjutkan studi di perguruan tinggi ISI {Institut Seni Indonesia} Denpasar
dengan mengambil jurusan Pedalangan, mulai tahun 2004 dan menyelesaikan studi tahun
2007. Pada tahun 2007 ia melanjutkan kuliahnya pada pascasarjana (S2) di IHDN
{Institut Hindu Dharma Negeri} Denpasar dan menyelesaikan kuliah pada tahun
2010 dengan prestasi cumlaude pada Prodi Brahma Widya. Dengan
demikian, gelar yang telah didapat oleh Nardayana, adalah S.Sn {Sarjana
Seni} dan M.Fil. H {Master Filsafat Hindu}. Dan namanya menjadi I Wayan Nardayana S. Sn, M. Fil. H.
Pada tahun 1995, pria kelahiran
Batannyuh Kelod ini menikah dengan Sagung Putri Puspadi seorang seniman tari
dari Jero Pangkung, Banjar Wani, Kerambitan, Tabanan. Dari pernikahan itu, dikaruniai
dua orang putrid. Yang pertama bernama Ni
Putu Ayu Bintang Sruthi, dan yang kedua bernama Ni Made Ayu Damar Sari Dewi.
Pengalaman
kerja yang
pernah dijalani Nardayana sebelum menjadi dalang;
1.
Sebagai
tukang parkir di swalayan Tiara Dewata Denpasar dari tahun 1989 sampai dengan
tahun 1991.
2.
Sebagai
tukang ukir still Bali dari tahun 1992 sampai dengan tahun 1995.
3.
Sebagai
seniman topeng dari tahun 1991 sampai dengan tahun 1995.
Kegemarannya dengan dunia wayang
membuat Nardayana tidak pernah absen menonton wayang setiap ada pertunjukan,
baik di desanya sendiri maupun di luar desa yang bisa dijangkau. Pertunjukan
wayang yang paling sering ditonton, adalah pertunjukan yang dilakukan oleh
dalang I Gusti Sudiartha dari Desa Kukuh dan Pan Yusa dari desanya sendiri.
Selain itu, ia pun memiliki kaset wayang yang didengarnya setiap saat.
Dampak dari kegemarannya yang berlebihan terhadap wayang, rapor triwulan di
kelas IV SD sangat jelek dengan banyak nilai merah dan ayahnya menjadi marah
serta membakar seluruh peralatan wayang yang di buat dari kertas karton dan
bahan lainnya. Ketika memasuki dunia remaja tepatnya memasuki dunia pendidikan
SLTP, ia kembali membuat wayang dan bertekad menjadi dalang dan juga membentuk sekaa
topeng serta perkumpulan Drama Gong sesama temannya di kampung tanpa
mengabaikan dunia pendidikan.
Kepiawaian mendalang
berawal dari kesedihan Nardayana sekitar tahun 1989 terhadap sebagian masyarakat yang meninggalkan pertunjukan
seni wayang kulit. Lalu dia bertekad menghidupkan kembali kesenian wayang kulit
tersebut. Ia
membeli kulit sapi (telah siap dipakai wayang) seharga Rp 100.000 di Desa
Darmasaba, Abiansemal, Badung untuk membuat wayang. Atas bantuan sahabatnya
yang bernama Made Dira dari Banjar Poaya, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar berupa
satu set perangkat pahat ukir, Nardayana membuat sejumlah tokoh wayang sampai
sejumlah wayang yang siap dipentaskan. Setelah wayang dianggap cukup, ia
kemudian minta petunjuk kepada Ida Pedanda dari Gria Belayu, Marga, Tabanan.
Pada tahun 1992 Wayang dibuatkan
upacara: diprayascita, dipasupati, dan dibakuh tepat pada hari suci Tumpek Wayang, pada Saniscara Kliwon wuku Wayang.
Pertunjukan pertamanya dilakukan di Pura Paruman, Belayu dengan lakon “Gugurnya Prabu Jarasanda, Raja Magada oleh
Bima”.
Lewat lawakan-lawakan tokoh Nang
Klenceng dan Nang Eblong, label yang semula kesenian ini bernama Gita Loka ‘nyanyian
alam’ berubah menjadi Cenk Blonk.
Dalang tertarik menggunakan kata itu sebagai lebel karena sebutan penonton di
Jempayah, Desa Mengwitani, Badung, yang sedang bercakap-cakap dengan
sahabatnya mengatakan “ayo mebalih wayang CengBlong”. Untuk lebih keren
dan mengikuti zaman serta terobsesi oleh terkenalnya kata Cengblong dari Gita Loka, I Wayan Nardayana mengubah
nama perkumpulan kesenian ini menjadi “Cenk Blonk”.
Saat ini setiap
pentas, ia membawa sekitar 50 kru dan satu generator listrik berkekuatan 7.000
watt. Layar yang dia gunakan tak biasa yaitu, 6 meter dan tinggi 1,5 meter.
Dalang yang memiliki enam keropak atau kotak berisi tokoh wayang lengkap ini
mampu pentas di lebih dari 40 lokasi dalam satu bulannya.
Model yang dikemas dan inovasi-inovasi
yang telah dilakukan mengartarkan Nardayana sebagai wakil Bali, antara lain:
1)
Sebagai
duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Indonesia, di Jakarta.
2)
Sebagai
duta dalang Bali dalam Festival Wayang Kulit se-Asean di Malaysia.
3)
Sebagai
dalang kehormatan di Istana Presiden, Jakarta.
4)
Beberapa
kali pentas di Jakarta dan Cikeas Bogor.
Beberapa penghargaan yang telah didapat,
misalnya:
1.
Juara
II pada Festival Wayang Babad dalam PKB tahun 1998.
2.
Finalis
Festival Drama Gong Mr. Brown se-Bali, Radio Menara 105 FM pada tahun
1999.
3.
Juara
Harapan I pada Lomba Topeng Pajegan dalam PKB XXIV, tahun 1999.
4.
Bali
Award 2007 oleh Majalah Bali Aga, sebagai sepuluh tokoh Pelestari Budaya
Bali.
5.
Piagam
Penghargaan dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia dan Persatuan
Pedalangan Indonesia, Jakarta, sebagai Dalang dengan Garap Iringan Terbaik.
6.
Piagam
Penghargaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai
Budaya, Seni, dan Film, Jakarta, sebagai Pengembang Teater Wayang Kulit Gaya
Bali.
7.
Lila
Adimanta Award
2009 oleh Radar Bali Music Award.
Alasan memodernisasi
pertunjukan wayang kulit itu, agar kesenian wayang kulit dapat mensejajarkan
diri dengan kesenian lainnya dan dapat mengimbangi zaman yang terus bergerak
maju.
Lakon-lakon yang telah dipentaskan antara lain:
§ Gugurnya Prabhu Jarasanda, Raja Magada Oleh Bima.
§ Bima Swarga
§ Diah Ratna Takeshi, Asti
Sweta
§ Kantundung Ngada
§ Rudra Murti
§ Suryawati Ilang
§ Kumbakarna Lina
§ Tebu Sala
§ Sutha Amerih Bapa
§ Gatutkaca Anggugah
§ Lata Mahosadhi
§ Setubandha Punggel
§ Diah Gagar Mayang
§ Gatutkaca Duta
Ia sangat bersyukur dan cukup
bangga apa yang dia peroleh serta optimis, karena masih ada lembaga dan
seseorang yang menghargai wayang di saat kehidupan yang dikatakannya serba
bisnis. Diakuinya, sebagai seorang dalang yang terpenting baginya adalah
pertunjukannya berterima di hati masyarakat. Dengan rendah hati, dia memohon
kritik dan saran dari para penonton, penikmat wayang, dan peneliti, agar
pertunjukan yang telah dilakukannya ditanggapi demi kemajuan kesenian
wayang itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar